Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
keluarga dan para sahabatnya.
Islam
merupakan agama yang suci, terhormat, tinggi, dan maju. Ia datang dengan
menjaga farji dan melindungi kehormatan serta memberikan aturan tegas dalam
masalah tersebut. Karenanya Islam mengharamkan zina dan memberikan hukuman yang
berat padanya. Islam juga menutup pintu-pintu zina seperti mengumbar pandangan
kepada wanita yang bukan mahram, berkhalwat, ikhtilath dan segala sesuatu yang
bisa menyebabkan terjadinya perzinaan.
Allah
Ta'ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلًا
"Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)
Berkat
rahmat-Nya, Islam membuka pintu pernikahan yang syar'i, menganjurkan dan
menyemangatinya. Karena di dalamnya terdapat kemashlahatan yang sangat besar.
Seperti ketenangan jiwa, rasa cinta dan kasih sayang, mendapat keturunan, dan
terjaganya kehormatan. Islam juga menetapkan syarat-syarat dalam pernikahan
seperti adanya wali, saksi, dan mahar.
Islam
mengharamkan nikah dengan wanita yang masih mahram dan sangat keras dalam
masalah itu. Memerangi orang yang mempermainkan kehormatan dan memudah-mudahkan
(meremehkan)-nya. Sementara nikah mut'ah, -yaitu menikahi wanita sampai batas
waktu tertentu seperti satu hari, tiga hari, satu pecan, dan seterusnya, dengan
imbalan tertentu yang diberikan kepadanya. Jika sudah sampai waktu tersebut
secara sendirinya terjadi perceraian-, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam telah mengharamkannya setelah sebelumnya dibolehkan dalam beberapa
masa. Hikmah dari larangan itu, agar seorang muslim menikah yang daim
(tetap). Karena dalam pernikahan tersebut terdapat cinta dan kasih sayang serta
memperoleh keturunan, tidak melulu hanya untuk melampiaskan nafsu syahwat.
Pengharaman
nikah mut'ah ini ditetapkan melalui sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan sahabat lainnya Radhiyallahu
'Anhum. Walau di awal pengharaman nampak samar oleh sebagian sahabat, tapi
hal ini tidak menghalangi untuk memperjelas masalah ini.
Imam
al-Khathabi berkata, "Pengharamannya (nikah mut'ah) itu seperti ijma' di
antara kaum muslimin. Tidak ada khilaf (perselisihan/silang pendapat) di antara
umat kecuali oleh satu kelompok saja, yaitu Syi'ah Rafidhah." (Dinukil
dari Ithaf al-Kiram, ta'liq atas Bulugh al-Maram: 295)
Imam
al-Syafi'i rahimahullah berkata: "Aku tidak pernah tahu ada sesuatu
yang diharamkan lalu dibolehkan, lalu diharamkan (kembali) kecuali nikah
mut'ah."
Imam
Nawawi rahimahullah berpendapat, bahwa pengharaman mut'ah dan
pembolehannya terjadi dua kali. Ia dibolehkan sebelum perang Khaibar, lalu
diharamkan pada perang tersebut. Kemudian dibolehkan pada masa penaklukan
Makkah, dan itu adalah tahun terjadinya perang Authas, kemudian diharamkan
untuk selama-lamanya. (Diringkas dari Ithaf al-Kiram, ta'liq atas Bulugh
al-Maram: 295)
Oleh
sebab itu, kita tidak akan mendapatkan pembolehan nikah mut'ah ini dalam
Al-Qur'an. Hal itu karena saat Allah menyebutkan tentang orang-orang beriman dan
pujian atas mereka, Dia berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
"Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela."
(QS. Al-Mukminun: 5-6) Allah tidak menyebutkan di dalamnya akan nikah mut'ah.
Kita
tidak memiliki kepentingan dalam pengharaman nikah mut'ah kecuali sebagai
bentuk pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam benar-benar beriman dengan apa yang diturunkan kepada
beliau, begitu juga orang-orang beriman. Mereka hanya mengatakan Sami'naa wa
Atha'naa (kami mendengar dan kami taat) terhadap ketetapan hukum Allah.
Nurani
yang sehat juga tidak akan menerima nikah mut'ah. Sehingga kita hampir-hampir
tidak akan mendapati orang-orang yang membolehkan nikah mut'ah, ia ridha kalau
anak wanitanya, saudarinya, atau ibunya dinikahi dengan cara mut'ah.
Dan
yang lebih menyedihkan lagi, orang-orang yang membolehkan mut'ah
mempraktekkannya seenaknya sendiri dengan berbagai bentuk yang busuk. Sehingga
mut'ah menjadi pemandangan memuakkan, arena pelampiasan syahwat, penghancur
kehormatan, dan merusak citra Islam dalam pandangan manusia.
Selanjutnya
kami ingin nukilkan beberapa bukti dari kitab Syi'ah yang berisi pelegalan zina
terselubung dalam nikah mut'ah dan berbagai bentuk busuk dalam
mempraktekkannya.
1.
Ruhullah al-Khumaini dalam kitabnya
Tahrir al-Wasiilah (تحرير الوسيلة): II/241; dalam
masalah ke 11, dia berkata: "Pendapat yang masyhur dan paling kuat, boleh
menyetubuhi wanita pada duburnya. Dan sebagai tindakan hati-hati hendaknya
ditinggalkan, khususnya ketika istrinya tidak suka."
Pada
masalah ke 12, ia berkata: "Tidak boleh menyetubuhi istri sebelum sempurna
7 tahun, baik nikah abadi atau terputus (mut'ah). Adapun seluruh kegiatan
bercumbu seperti membelai dengan syahwat, mengecup, dan memegang paha, itu
tidak apa-apa sampai pada anak yang masih di susuan."
2.
Al-Sayyid al-Khui dalam kitabnya Maniyyah
al Sa-il (منية السائل) atau lebih dikenal
dengan Fatawa al-Khu'i, hal 100, membolehkan mut'ah dengan pembantu, sama saja
pembantu yang bertugas mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, ataupun pembantu
yang bertugas dalam mendidik anak. Tidak dibedakan pembantu yang dibawah
tanggungan dia atau orang lain.
3.
Muhammad al-Thusi, dalam kitabnya Tahdzib
al-Ahkam, pada bab tambahan dalam fiqih Nikah (VII/460), riwayat no. 1843:
menyebutkan riwayat yang disandarkan kepada Abu Abdillah, beliau berkata:
"Jika seseorang menyetubuhi istrinya di duburnya dan sang (sang istri)
dalam kondisi berpuasa, maka puasa tidak batal dan ia tidak wajib mandi."
4.
Al-Thibrisi, dalam kitabnya
Mustadrak al-Wasa-il, Kitab al-Nikah, hal. 452, menjelaskan tentang keutamaan
dan pahala yang diperoleh orang yang melakukan mut'ah. (Riwayat no. 17257), dia
menyandarkan riwayat tersebut kepada imam Al-Baqir: "Jika dia melakukannya
(mut'ah) karena Allah 'Azza wa Jalla dan menyelisihi si fulan, maka
tidaklah ia mengucap satu ucapan kecuali Allah mencatatnya sebagai satu
kebaikan untuknya. Jika ia menyetubuhinya, Allah akan mengampuni dosanya. Jika
ia mandi, Allah memberi ampunan untuknya sejumlah air yang membasahi kepalanya,
yaitu sebanyak rambutnya."
(No.
17258) dalam riwayat yang disandarkan kepada Imam al-Shadiq, ia berkata:
"Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mengharamkan setiap minuman yang
memabukkan atas Syi'ah (kelompok) kami, dan menggantinya dengan mut'ah."
(No.
17259) dalam riwayat yang bersumber dari al-Baqir, ia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Ketika aku diisra'kan ke
langit, Jibril menemuiku, lalu berkata: 'Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah 'Azza
wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya aku telah mengampuni orang-orang
yang melakukan nikah mut'ah dari kalangan wanita".'
5.
Muhammad al-Thusi, dalam kitabnya Tahdzib
al-Ahkam, pada bab Perincian Hukum-hukum Nikah (VII/256): (no. 1105)
menyebutkan riwayat yang bersumber dari Imam al-Ridha: Bahwa beliau membolehkan
menikahi wanita Yahudi, Nashrani, bahkan Majusi secara mut'ah.
(No.
1106) riwayat dari Abu Abdillah, ia berkata: "Seorang laki-laki boleh
bermut'ah dengan wantia Majusi." Tetapi bermut'ah dengan wanita mukminah
adalah lebih utama.
Catatan
penulis: Padahal Allah berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
"Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah: 221)
6.
Abu al-Qashim al-Khu-i (ulama besar
al-Hauzah al-'Ilmiyah) dalam kitab Shirath al-Najaat fi Ajwibah
al-Istifta-at. Memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan:
(Jawaban
pertanyaan 844): "Boleh melakukan akad nikah mut'ah melalui telepon."
Catatan
penulis:: Lalu apa bedanya nikah semacam
ini dengan seseorang yang memboking wanita pelacur?
(Jawaban
pertanyaan 849): "Jika dibuat syarat sebelum nikah mut'ah dilaksanakan
agat tidak melakukan coitus (memasukkan zakar ke farji), lalu ternyata
melakukannya maka tidak disebut zina."
(Jawaban
pertanyaan 850): "Tidak boleh melakukan perpanjangan kontrak dalam mut'ah
kecuali setelah kontrak pertama selesai."
7.
Ruhullah al-Khumaini, dalam kitabnya
Tahrir al-Wasiilah (تحرير الوسيلة): II/292; dalam
masalah ke 17, menfatwakan bahwa disunnahkan wanita yang dimut'ah adalah
mukminah yang menjaga kesuciannya dan menanyakan statusnya sebelum melakukan
akad, apakah punya suami atau sedang masa iddah. Tetapi ini tidak menjadi
syarat sahnya mut'ah.
Sementara
pada masalah ke 18, dia (Khumaini) membolehkan bermut'ah sama wanita pezina.
Padahal Allah Ta'ala berfirman,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mukmin." (QS. Al-Nuur: 3)
8.
Al-Thibrisi, dalam kitabnya
Mustadrak al-Wasa-il, Kitab al-Nikah, hal. 458, pada bab ke 8 mengatakan,
"Tidak haramnya melakukan mut'ah dengan wanita pezina (pelacur) walaupun
terus menerus." Dan hal ini disandarkan kepada riwayat yang bersumber dari
Abu Abdillah. Keterangan ini juga disebutkan oleh Syaikh al-Mufid dalam Risalah
al-Mut'ah.
Bab
ke 9 dari kitab tersebut berbunyi: "Bab tidak wajibnya melakukan
penelitian dan bertanya tentang kondisi status wanita yang dimut'ah."
Penutup
Demikianlah
buruknya ajaran syi'ah dalam uruan nikah yang sangat mereka agung-agungkan.
Sesungguhnya ajaran yang demikian hinanya tidak mungkin bersumber dari wahyu.
Dan Mahasuci Allah dari mensyariatkan ajaran yang demikian.
Tidak
lain ajaran yang demikian adalah bersumber dari hawa nafsu. Baik karena
dorongan syahwat atau sentimen terhadap kaum mukminin yang tidak sepaham dengan
mereka. Hanya karena Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab dengan tegas
menerapkan keharamannya dalam kasus Amru bin Harits, lalu mereka mati-matian
menghalalkan dan memerintahkannya. Maka tepat apa yang disampaikan para ulama,
ajaran syi'ah dibangun di atas menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Sesungguhnya akal sehat tidak bisa menerimanya,
tapi kenapa mereka berusaha melestarikannya. Padahal mereka yang mengagungkan
mut'ah tidak rela jika ibu mereka, istri mereka, anak perempuan mereka, atau
saudari mereka dinikahi dengan cara mut'ah sesuai ketentuan dalam kitab-kitab
mereka di atas. Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan kebenaran, yaitu jalan
hidupnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para sahabatnya dari
kalangan shiddiqin, syuhada' dan shalihinsumber;http://psmsubang.blogspot.co.id